Sunday, May 26, 2019

Kisah Nyata: Takut Melihat Nilai Ujian, Mahasiswa ini Malah Sepedaan

Sedikit cerita tentang dia yang membawaku, beberapa langkah lebih jauh, ke tempat-tempat yang tak mungkin ku tempuh hanya dengan jalan kaki. Dialah, sepedaku. Wkwk. Yang pernah menemaniku, dikala depresi.

Sepeda mini dengan warna pinky, bermerk Jieyang. Bukan sepeda mahal, tapi biarlah. Aku ingin menceritakan tentangnya, yang tak pernah aku cuci, selain dengan air hujan, alias aku hujan-hujankan. Jahat ya.

Dialah seorang teman perjalanan kecilku di Jogja. Perjalanan kecil, tempat terjauh yang pernah aku tempuh ada di radius 3-4 kilometer dari kos-kosan sebagai poros. Yaa kalau pulang pergi berti di kali dua. Tapi empat kilo itu jarang sekali, kalau enggak terpaksa sekali.

Aku bukan orang yang kuat, makanya aku pernah di titik merasa depresi. Lah apa hubungannya sama sepeda? 

Pernah di suatu semester, nilai ujian praktikku gagal semuanya. Semuanya gengs. Bukan gagal sebagian saja. Salahku sendiri sebenarnya, tapi masih sedih juga.

Di semester berikutnya, aku jadi tidak percaya diri. Saat itu, aku sudah mempersiapkan diriku untuk gagal. Aku tidak akan segera pulang ke kosan setelah ujian selesai. Karena kalau di kosan, ruangan yang sempit, langit-langit terasa dekat, semuanya serba sempit dan membuat pikiran yang sedang sempit semakin sempit. Maka aku putuskan, setelah ujian untuk melarikan diri, wkwk.

Bersepeda ketika sedang sedih ternyata asyik juga. Kalau keinget dengan kekesalan atau kebodohan diri sendiri, gemes, kayuhanku semakin cepat, nggak bisa ngegas, bisanya mengayuh. Ada tanjakan ngos-ngosan, sambil kaki terus menginjak pedal.

Energi kekesalan itu berubah menjadi energi gerak untuk menggerakkan rantai sepeda, dan rantai menggerakkan roda belakang, roda semakin kencang berputar, semakin sepoi angin berembus. 

Air mata? Mana sempat menetes, malu dengan keramaian jalan Jogja. Ya walaupun sesekali membentuk genangan di pelupuk, tapi tak mampu juga sampai sesenggukan. Melewati separuh Jl. Malioboro, lalu belok kanan ke arah perkampungan wisata, jalan pulang aku tempuh berbeda dengan jalan ketika aku pergi. Putar balik, kembali lebih melelahkan karena ada lebih banyak tanjakan.

Lalu aku bersiap melihat nilai ujian yang keluar beberapa jam setelahnya. Aku lupa hasilnya, tapi aku tahu, hasilnya lebih baik. Leganya saat itu, sekaligus bahagia. Sejak saat itu aku belajar, 

"Ketika sedang merasa depresi, merasa betapa tidak bergunanya diri ini, merasa apa gunanya diri dilahirkan, cobalah tatap dunia luar. Jangan terkurung pada ruang sempit, yang itu akan semakin membunuh rasa percaya dirimu, dan menyuburkan rasa ketidakbergunaanmu. 

Keluarlah. Lalu lihat dunia. Dunia tak hanya tentang kesedihan. Dan engkau akan tahu, engkau bukanlah orang paling tidak beruntung di dunia ini. 

Rumah-rumah di perkampungan yang sempit, orang-orang mencari nafkah dengan menjual koran, menjadi delman, tukang becak, supir angkutan, dan lain-lain. Seketika itu, engkau akan merasa, betapa beruntungnya hidupmu."

#Day21
#OneDayOnePost30HRDC
#WritingChallenge30HRDC
#30HariRamadhanDalamCerita
#bianglalahijrah

2 comments:

  1. Pengalaman kita hampir sama mbak, gagal di satu semester dan terpaksa ngulang tanpa teman2

    ReplyDelete