Saturday, March 23, 2019

Minitravelling "Perpustakaan BPAD DIY Grhatama Pustaka"


"Pak! Kalau Perpustakaan Jogja turunnya di halte mana?", kataku terburu-buru karena Trans Jogja (TJ) yang kunaiki melesat cepat hampir sampai di halte depan. "Iya disini, Mbak! Itu tu Perpusnya," petugas TJ menjawab sambil menunjukkan gedung besar yang memiliki empat menara dan halaman luas serta rapi. Waw! Aku kagum. Bagaimana dengan bagian dalamnya ya? 
_____________________________________

Foto dari GMaps

Sore itu aku memutuskan ingin pergi. Selesai sholat Ashar di kampus, aku menuju ke halte TJ yang berada tepat di samping area aku kuliah. Sampai di halte aku bertanya pada petugas rute menuju Perpustakaan Jogja. "Perpus yang kota Jogja apa yang deket JEC, mbak?", tanya petugas halte. "Yang deket JEC, Pak." "Oh kalau yang deket JEC lewat halte yang sebrang aja, Mbak. Biar gak usah transit."

Setelah itu, aku menyebrang jalan menuju halte yang berlawanan arah. Jalanan cukup ramai, ketika sampai di bagian tengah lajur jalan, aku melihat ada TJ jalur 3B, jalur yang akan aku naiki. Terburu-buru aku menyeberang, mengganggu mobil-mobil yang melaju lebih lambat karena padatnya lalu lintas, lalu berlari tergesa-gesa ke halte, dan yap! Maniau. Masih sempat masuk ke TJ, hehe.

Di jam-jam pulang begini, penumpang TJ lumayan penuh. Mulai dari anak-anak sekolah yang pulang sekolah, pekerja mungkin, orang tua, orang merantau, dan mahasiswa tidak jelas yang pergi sendirian, ya itu aku. Kemacetan di sore hari begini memang lumrah. Jogja juga macet ya, terutama di dalam kotanya. Setelah memasuki ring road, TJ melaju dengan cepat, lalu melambat lagi saat memasuki terminal Condongcatur, melesat lagi saat masuk jalan ring road lagi. Perjalanannya memang cukup lama, lewat RS Harjolukito, lalu mampir di bandara Adi Sucipto, masuk jalan Janti, sekitar satu jam, dimana kalau naik motor mungkin hanya butuh 25-30 menit saja. Sebagai pengguna transportasi publik pasti sudah paham dengan hal ini, skill sabar memang mutlak harus dimiliki.

Lalu saat tiba di halte tujuan, waw, masyaAllah sekali perpustakaan itu. Di bagian kanan atas gedung terpampang namanya "Grhatama Pustaka". Sebelum memasuki gedung, dari gerbang di pinggir jalan terlihat Sang Merah Putih berkibar gagah membelah jalan utama yang dibuat menanjak menuju gedung perpustakaan. Hai! Aku merasa kecil sekali melihat gedung perpustakaan itu. Walau sore itu mendung menggelayut, rintik-rintik air malu-malu menyapa bumi, tak mengurangi pesona menakjubkannya gedung itu. Ah ya, lalu di saat-saat seperti itu, kita jadi ingat akan kebesaran Allah. Ah, padahal kebesaran Allah ada dimana-mana, di kedua mata kita, di hidung kita, di detak jantung kita, di setiap langkah kaki kita, tapi jahatnya, manusia seringkali lupa. 

Aku melewati jalan yang menanjak itu dengan perasaan berbunga-bunga seperti menemukan seorang kekasih, wkwk. Ada ya gedung sebagus ini, hampir empat tahun di Jogja kok aku tidak tahu ya? Akunya sendiri yang tidak mencari tahu, kata pikiranku yang lain. Iya iya, pikiranku satunya lagi mengalah mengaku salah.

Sampai di depan lobby, seperti perpustakaan pada umumnya, tas harus di masukkan ke loker. Kartu identitas sebagai jaminan kunci loker. Desain jalan yang menanjak tadi mengantarkan pengunjung langsung ke lantai 2. Setelah mendapatkan kunci loker, pengunjung absensi di komputer yang ada di sebelah kiri meja resepsionis. Lalu aku menuju ruang loker. Dengan sekuat mungkin menyembunyikan raut bingung, aku menuju ke tempat loker. Aku cari nomorku, iya aku bingung, sudah ketemu, tapi tidak bisa dibuka. Apa aku salah loker? Akhirnya dengan tampang bingung yang tidak dapat lagi kubendung, aku bertanya pada Pak Satpam. Ealah, memang sudah benar kok, akunya saja yang tidak bisa membuka.

Masuk ke bagian dalam perpustakaan tidak kalah menakjubkan. Di bagian tengahnya yang kosong itu tumbuh satu pohon. Di lantai 2 ada koleksi buku-buku. Tentu saja karena baru pertama kali ke sini aku bingung masuk ruangannya lewat mana. Lalu ketika ada pintu, aku coba membuka, eh, ternyata terkunci. Ada pintu lagi, ah rupaya lewat sini. Di dalam ruangan koleksi buku tersebut tidak boleh memakai alas kaki. Jadi alas kaki dilepas, dimasukkan kedalam tas yang tersedia di sebelum pintu masuk, lalu ikut dibawa masuk ke dalam ruangan. Ya walaupun begitu, masih saja ada yang meninggalkan alas kakinya begitu saja di depan pintu, walaupun, juga sudah ada larangan untuk meninggalkan alas kaki di depan pintu.

Memasuki ruangan koleksi buku, rasanya sangat membahagiakan, wkwk, bagaikan menemukan sesuatu yang dicintai. Alas ruangannya berkarpet. Meja untuk belajar dimana-mana, kursi empuk juga bertebaran dimana mana. Koleksi bukunya juga banyak.

Sembarangan, aku masuk ke salah satu rak buku yang berkategorikan bahasa asing. Lalu tanpa pikir panjang mengambil buku belajar kanji Jepang. Celingak celinguk mencari tempat duduk kosong. Lalu mendaratkan tubuh di sebuah sofa yang empuk berwarna krem. Membuka halaman buku beberapa menit, bagus isinya. Lalu di kembalikan lagi. 

Banyak sekali rak-rak bukunya. Di titik-titik tertentu disediakan bantal kursi yang nyaman untuk posisi membaca. Di sela-sela rak buku itu beberapa terlihat pengunjung yang melihat-lihat buku. Di bagian sisi yang berdekatan dengan jendela, ada banyak, barangkali mahasiswa yang sedang khusyuk berhadapan dengan laptopnya. Perpustakaan ini aku rasa tidak terlalu ramai, dibandingkan dengan perpustakaan kota Jogja. Mungkin karena perbedaan luas juga, perpustakaan kota Jogja cenderung lebih kecil. Ditambah letaknya yang lumayan jauh dari kampus-kampus besar.

Sekali lagi aku melihat rak buku, terhenti, mengambil sebuah buku yang tergeletak tak berdaya, terpisah dari teman-teman yang berjajar rapi. Membaca kata pengantarnya, entah mengapa aku malah berusaha meresapinya. Ah bagus juga, isinya seperti sebuah solusi yang aku butuhkan. Kalau kalian pernah menonton anime "Tsuki ga Kirei", tokoh utamanya ketika di perpustakaan secara acak mengambil sebuah buku, lalu membuka halamannya secara acak. Dan ia 'rasa', dengan begitu, ia mendapatkan sebuah pencerahan. Mungkin mirip seperti itu.

Aku melihat jam di Hpku. Sudah jam lima sore lebih sedikit. Harusnya aku segera pulang jika ingin sampai di kos-kosan saat maghrib. Tapi ada satu sisi yang belum aku temukan, dimana buku-buku keperawatan? Ah kukira tidak ada, saat aku masuk ke ruangan yang tadi aku coba membuka pintunya namun terkunci, ternyata ada jalan masuk lain, dan disitulah terdapat buku-buku medis yang di sampingnya terdapat beberapa buku keperawatan. 

Setelah puas hanya dengan menjelajahi rak-rak buku, aku keluar dari ruang koleksi. Naik ke lantai 3. Namun tidak masuk di ruang manapun. Ada banyak ruangan yang menarik, tapi aku lupa apa saja hehe, aku ingat ada ruang baca braile, ruang audiovisual kalau tidak salah, dan lain-lain, tapi hanya terlewati begitu saja. Aku mencari jalan untuk naik ke salah satu menaranya, tapi semua jalannya di tutup rantai. Yah. Mungkin memang sudah saatnya pulang.

Aku mengambil tasku dari loker, menukar kunci loker dengan kartu identitasku, lalu pulang. Puas. Masih dengan hati yang terkagum-kagum, aku sudah berjanji akan kesini lagi. Langit masih saja mendung, tapi tidak jadi menurunkan hujan. Matahari masih belum tenggelam. Hampir pukul setengah enam sore, aku mengucapkan sampai berjumpa lagi pada tempat itu, pamit pulang, menuju halte TJ.

Halte tempatku turun tadi tidak ada petugasnya, sepi. Hanya ada bapak ojol yang mungkin sedang menunggu orderan. Karena ragu, akhirnya aku memutuskan berjalan sedikit jauh, melewati trotoar JEC, menuju halte yang berlawanan arah. Leganya halte yang kutuju ini ada petugasnya, jadi aku bisa bertanya. Menunggu, sudah 10 menit. TJ yang lewat bukan jalur pulangku. Menunggu, 20 menitan. Ada TJ lewat lagi, eh, bukan jalurku lagi. Tapi, ada seseorang yang aku kenal turun dari TJ tersebut. Wah, skenario Allah memang tiada duanya. Kami mengobrol beberapa hal, sampai adiknya datang menjemputnya. Beberapa menit kemudian, TJ 3A jalurku lewat. Aku naik, melihat jam di HPku sudah menunjukkan pukul 17.40. Dalam hati aku agak resah juga, apa masih sempat sholat maghrib ya?

Ya, sempat. Bukan aku yang menjawabnya. Begitulah. TJ itu mampir di bandara Adi Sucipto. Petugasnya mengatakan, "Terakhir bandara, terakhir bandara, istirahat dulu. Semunya turun." Ah begitu rupanya. Halte di bandara ini sekaligus menjadi depo bus, kandangnya bus, begitulah. Akhirnya harus turun juga disini menunggu keberangkatan berikutnya. 

Aku melihat HPku lagi. Bersamaan dengan itu, adzan Maghrib berkumandang. "Ah, sudah Maghrib. Sholat di kos apa nyari masjid deket sini ya?", batinku. Aku buka Google Maps, mencari "Masjid deket sini". Oh ada. Jaraknya 80 meter saja. Saat aku melihat ke bagian utara halte, masjid itu terlihat dengan jelas. Kalau begitu sholat di situ saja.

Banyak juga orang-orang yang mau sholat. Tempat wudhu putrinya bersih dan tertutup. Ada kamar mandi yang sama bersihnya. Lalu di bagian putri, disediakan juga mukena yang bisa dipakai. Iqomah dikumandangkan. Sholat Maghrib berjamaah dimulai. Selesai mebaca surah Al-Fatihah, imam sholat membaca surah tentang hari kiamat. Aku agak lupa, antara surah Al-Waqi'ah atau surah Al-Qiyamah. Dalam sholat aku malah teringat buku yang tadi aku baca, intinya ketika seseorang sedang sholat menghadap kiblat (Ka'bah), maka Allah ada diantara keduanya. Kalau Allah tidak memperkenankan diriku untuk tersentuh, hal-hal seperti itu seringkali berlalu begitu saja. Tapi entah mengapa, aku jadi malu, karena saat sholat aku sering membayangkan pekerjaan-pekerjaan yang belum selesai, padahal, Allah ada diantara Ka'bah dan diriku. Ya Allah.

Selesai sholat, aku kembali ke halte dan pulang ke kos-kosan. Ada banyak pikiran yang berkecamuk di perjalanan pulang. Trans Jogja tidak seramai tadi sore, AC bus yang menyala menjadi terasa lebih dingin dibalut malam. Jalanan juga tidak sepadat tadi. Rasanya jalan pulang jadi lebih cepat daripada saat tadi berangkat. Dalam hati aku bersyukur, atas perjalanan kecil di sore ini.

Ehm, oke setelah panjang lebar, sebenarnya kenapa aku memutuskan untuk pergi? Sepertinya semua berangkat dari 'rasa iri' karena kebanyakan orang-orang sudah pergi ke banyak tempat, tapi kenapa aku masih diam saja di tempat yang sama? Lalu kupikir, tempat itu tidak harus tempat wisata, tempat yang unik, atau tempat yang jauh. Cukup perjalanan kecil saja, itu sudah cukup untuk membagikan sebuah cerita. Karenaaa "Travelling: it leaves you speechless, then turn you into storyteller" quote by Ibn Batuta. And this is one of my story, semoga bisa melakukan perjalanan lagi, tidak perlu jauh, tapi jika ada kesempatan, mengapa tidak? ^^ Lalu terakhir, ada makna yang bisa kita ambil dari setiap perjalanan yag kita lalui. Sadar atau tidak sadar, kita bertemu dengan hal-hal baru, yang mungkin akan mendewasakan diri kita.

No comments:

Post a Comment