Friday, April 19, 2019

Monolog Penjahat Hati: How to Make a Scars


Hello. Perkenalkan, aku adalah seseorang yang sedang belajar membuat luka. Aku baru pertama kali secara sadar melukiskan luka pada orang lain. Yang secara tidak sengaja tentu saja lebih banyak.

Tidak mudah menemukan target, karena pada dasarnya aku tidak suka berburu, tapi diam di tempat menunggu mangsa mendekat dengan penyamaran terhebat. Ular. Barangkali lebih seperti ular daripada singa. 

Target terkunci. Sembari aku mengasah pisau, tanganku bergetar karena terlalu bahagia mendapatkan mangsa. Di kesempatan pertamaku ini, aku akan membuat luka yang seperti apa? Luka yang berbeda, luka yang membekas, luka yang tidak bisa sembuh. Harus.

Mangsa itu harus dikenali titik-titiknya. Dimana letak terbaik luka harus disematkan. Diantara waktu embun datang, atau senja yang mulai menghilang. 

Menurutku, luka terbaik sebaiknya disematkan ketika hujan. Karena luka itu meski telah lama hilang bekasnya, namun akan terbawa lagi tatkala hujan datang, sebagai ingatan yang menyesakkan.

Luka terbaik perlu diletakkan tatkala mangsa sedang berada di posisi paling aman dari pemangsa yang paling tinggi. Setinggi-tingginya supaya jatuh sesakit-sakitnya. Sungguh akan menjadi luka jatuh yang terlampau sempurna.

Apalagi? Aku hanya tahu dua hal itu. Aku mulai dengan mempersiapkan dua hal itu. Lalu ketika waktu yang tepat telah tiba, luka itu mulai tercipta dengan kecepatan secepat tetesan hujan jatuh ke bumi. Menghujam ke dalam hati, hingga menembus menciptakan air mata.

Sempurna.

Sempurna sudah rencanaku. Tapi sayang sekali.

Mangsaku terlalu tangguh. Aku telah gagal menciptakan luka sempurna kepadanya. Dia terlalu tangguh karena telah berkali-kali terluka. Baginya, luka yang aku buat mungkin sedikit berbeda, namun akhirnya sama saja. Ia terlalu tangguh untuk dilukai. Ia terlalu kuat untuk memiliki rasa sakit sedikitpun. 

Luka itu berbalik dan mempertanyakanku. Dalam bentuk penyesalan. Inikah rasanya? Justru lebih sakit ketika melukai, daripada menjadi seseorang yang terluka itu sendiri. Sejak awal, aku yang seperti ingin menyesuaikan diri menjadi seseorang yang melukai memang tidak pantas. Kembali pada kehidupanku yang tenang tanpa gangguan, itulah yang aku inginkan.

Hubungan memiliki banyak risiko, termasuk hubungan tanpa status. Letupan-letupan kecil saat ini, aku ragukan akan baik-baik saja. Suatu saat akan ada yang terluka, akan ada yang menyakiti. Jika hanya menjadi pengisi kekosongan saja, aku merasa sisi diriku yang lain menolaknya. Bilang kalau begitu percuma apa yang aku lakukan selama ini. Menjaga pembicaraan dan hati. Terutama menjaga perasaan yang sering terbang kesana kemari. Daripada menunggu waktu untuk salah satu dari kita terluka, lebih baik aku menjadi pihak yang melukai, untuk berjalan di jalan yang telah aku tetapkan sejak semula.

Sejak awal, kekurangtegasan diriku membuat seolah diriku menjadi orang lain dengan mencoba menyesuaikan dengan standar orang lain. Membuat diriku seolah biasa saja. Namun, didalam diriku ada perlawanan. Membentak kecil-kecil. Lalu ketika kesempatan datang, aku membulatkan tekad dengan melukaimu, agar engkau tak terluka lebih dalam lagi lewat kepalsuanku.

Menyesal, itu pasti. Pada dasarnya aku telah membuat luka di dalam diriku. Bukan hanya di dalam dirimu. Aku mengagumi keteguhanmu agar tak mudah terluka. Aku akui. Karena itu, bertahanlah. Karena itu, carilah jalan lain yang lebih baik. Jalan yang lebih indah. Jalan yang sudah ditunjukkan oleh yang menciptakan jalan. Aku yakin, ketika itu kaulakukan, sempurna sudah untuk menemukan salah satu nikmat kehidupan. 

Aku tak membencimu. Melukaimu bukan tanpa alasan. Aku harap kaupun tak membenciku, walaupun aku yakin, kaupasti tak pernah membenciku. Ingatlah, pikirkanlah. Temukanlah jalan yang baik itu. Karena engkau begitu dekat dengannya. 

Aku memang masih belum berpengalaman membuat luka. Terbukti, aku gagal di percobaan pertama. Aku tidak ingin lagi membentuk luka. Sulit, lebih baik aku diam saja. Tapi luka yang kubuat tanpa sadar itu mudah ya. Memperhatikan. Ada sahabatku yang terluka. Oh tentu aku tak bisa menyembuhkan. Lukanya lebih menyakitkan dari luka-luka yang pernah aku lihat. Aku memang heran, bisa-bisanya ia masih bertahan. 

Aku hanya ingin menyadari bahwa aku juga pernah menjadi penjahat yang melukai orang lain. Tapi susah sekali menyadarinya. Kebanyakan orang merasa dirinya adalah korban. Lalu kalau ada korban, siapa tersangkanya? Harusnya ada dong. Pikirkanlah. 

Kita pasti pernah melukai perasaan orang lain. Sadar atau tidak sadar. Pikirkanlah ini saat dirimu terluka. Wahai hati-hati yang sedang patah dan berusaha bangkit lagi. Luka seperti apa yang pernah engkau goreskan pada hati orang lain?

No comments:

Post a Comment