Wednesday, August 28, 2019

KKN Life: Selamat Pagi Lombok, Pulau Seribu Masjid

"Tengah malam. Tak membuat kami tak melihatnya. Reruntuhan itu masih ada. Sisa-sisa gempa itu masih jelas adanya. Rumah-rumah sederhana, rumah-rumah yang seadanya. Ada luka yang terbuka sendiri ketika melihatnya."


Satu hal yang mungkin mengiris hati saat pertamakali aku datang. Bangunan runtuh itu masih ada. Bongkahan dinding yang terlihat batu batanya. Rata rubuh. Mungkin sebenarnya sudah lebih dibersihkan dari sebelumnya. Akan tetapi, kerusakan itu masih jelas terlihat oleh mata. 

Ima, salah satu teman KKN yang asli Lombok sudah lebih dulu tiba di sana. Aira yang datang lebih dulu juga sudah ada di sana. Kita bersalaman dengan pemilik pondokan (induk semang). Yang belum sholat di persilakan sholat. Ima dan Aira yang menyiapkan makanan. Sederhana, kita makan bersama menggunakan satu nampan bulat untuk beberapa orang.

Terpal di gelar di depan pondokan yang merupakan lapangan bulu tangkis. Di dekatnya ada dua berugak, sebuah tempat seperti gubuk yang multifungsi, semacam tempat nongkrong atau menerima tamu. Karena sudah larut malam, kita diminta untuk tidur dulu. Penyambutan dll bisa dilakukan besoknya. 

Keesokan paginya aku terbangun oleh suara berisik. Wkwk. Suara murotal dari speaker masjid lebih tepatnya. Suaranya keras banget, seperti tepat di telingaku. Tidak hanya murotal, tapi juga diiringi dengan artinya. Mantap kali ini tempat pondokan. Beberapa saat kemudian, adzan Shubuh berkumandang. Dan here we go, enaknya punya temen sholihah, diajakin ke masjid dong sama si Zahro.

Ini sebenarnya juga merupakan pesan dari pak Lukman selaku Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) tim kami.
"Pendekatan terbaik kepada masyarakat adalah lewat masjid," begitulah beliau berpesan. 
Sampai di masjid, rasanya sedikit berbeda bagiku. Masjid tersebut belum selesai dibangun. Secara bangunan memang sudah bisa berfungsi. Namun tanpa ada kilauan keramik atau lampu yang memendar warna warni. Baru semen saja lantai dan temboknya. Karpetnyapun seadanya. Tapi lebih baik karena lumayan banyak karpetnya.

Saat itu aku teringat pada sebuah iklan yang beberapa kali muncul ketika aku sedang scrolling Instagram, yaitu iklan tentang donasi karpet masjid Nusantara. Ternyata, pemulihan infrastruktur tak semudah itu, tak secepat itu. Ada banyak hal yang perlu diperbaiki, dan tentunya membutuhkan dana yang juga tidak sedikit. Yap, masih banyak masjid-masjid yang membutuhkan karpet.

Seusai sholat Shubuh, kita melihat-lihat bagian dari masjid. Ada sebuah celengan kalau tidak salah, yang intinya tentang menabung, menabung untuk akhirat. Kata-katanya bagus, tapi aku lupa, wkwk. Sebuah ajakan untuk bersedah. Selain itu ada juga temapt yang disediakan untuk siapapun bisa menyedekahkan makanannya dan siapapun bisa mengambilnya. Waw. Aku merasa malu, di tempat yang baru saja terkena bencana ini, semangat untuk memberinya ternyata tinggi.

Keluar dari masjid, langit masih remang-remang. Mungkin sudah pukul 05.30 WITA lebih. Aku mengingat-ingat, kalau di Jogja masih pukul 04.30 WIB, baru adzan Shubuh, biasanya masih lelap, wkwk, sekarang sudah bangun.

Ketika bertemu warga si Zahro ini memberi salam dan salim (bersalaman) dengan mereka. Wah, suka nih yang kayak gini. Salah satu hal yang gak bisa buat aku lakukan, menyapa masyarakat. Karena ada Zahro, aku tinggal ngekor aja dong, hehe, sambil melempar senyuman.

Pulang dari masjid, kita bersih-bersih tempat induk semang. Ada yang nyapu, mbersihin kamar mandi, dll. Selesainya, kita ngumpul lagi di lapangan bulu tangkis, sambil sarapan yang sudah disiapkan induk semang. Dengan cara yang sama, satu nampan besar untuk beberapa orang, jadi ada beberapa nampan besar gitu deh. Aku lupa masakannya apa, tapi enak deh pokoknya.

Setelah sarapan, barulah kita berkenalan. Yang paling berkesan dari perkenalan ini adalah kata-kata pak Sudirman (induk semang). Beliau bilang, 
"Saya sedih ketemu sama kalian." 
Sebuah kalimat yang tak pernah ada dalam setiap perkenalan. Umumnya orang-orang akan bahagia dan memiliki harapan-harapan dalam awal perkenalan. Aku masih tak curiga kalau ternyata beliau ini orang tak biasa. Pak Sudirman ini bersedih, karena setiap pertemuan ini juga pasti akan diikuti perpisahan. Apalagi kami, kami sudah pasti akan meninggal Lombok 50 hari lagi. Saat itu aku masih berpikir, 
"Ah, Pak Sudir ini berlebihan, baru juga ketemu, Pak." 
Namun nyatanya memang benar, perpisahan itu akan terjadi seiring berjalannya waktu, yang tanpa kusadari, berlalu begitu cepat. Yang memang demikian, membuatku cinta dengan perlahan. Yang ketika aku pergi, barulah aku mengerti makna dari kata 'perpisahan' itu ternyata tidaklah sederhana.


No comments:

Post a Comment