Wednesday, November 6, 2019

Cerpen Patah Hati: Seikat Bunga di Hari yang Cerah

Hujan hari ini tak datang. Langit terang benderang. Awan perlahan menghilang. Birunya langit sejauh mata memandang. Artinya, pertemuan denganmu akan baik-baik saja. Padahal aku tak ingin pergi. Padahal aku masih ingin sendiri.

"Baiklah, datang saja kalau hari itu tak hujan." 
Sepertinya, semesta mendukung rencanamu. Tapi tidak mendukung rencanaku. Apa aku boleh bilang semesta tidak adil? Aku menggeleng kepalaku sendiri. Mungkin karena rencanaku bukanlah yang terbaik untuk diriku sendiri.

Aku bersiap pulang ke rumah di hari yang cerah ini. Pukul 7 lebih 15, dengan hati berat aku melangkahkan kakiku, mencari kendaraan umum untuk pulang. Yah tidak mencari juga sih, menunggu. Sepanjang perjalanan aku membayangkan, wajah bahagiamu yang penuh kemenangan. Apa saat ini benar engkau bahagia seperti yang kubayangkan? Mungkin engkau sedang berdebar, atau menyiapkan satu ikat bunga dari kebunmu? 

Aku terharu membayangkannya. Namun entah mengapa, ada kesedihan di sudut-sudut hatiku. Ada mendung di sebagian besar cuaca yang cerah ini. Ada setitik air mata yang siap meluncur. 

Aku tak mau mendefinisikan, apakah ini air mata kebahagiaan atau air mata kesedihan? Bagiku, ini terlalu tiba-tiba. Tapi juga terlalu... terlalu.. mungkin terlalu cepat harapanku terwujud. Terlebih lagi harapan itu terlalu tepat sasaran. 

Ah benar. Bagiku, perasaanku saat ini seperti seorang yang belum lama belajar memanah, lalu ketika ia kira anak panah itu takkan mencapai sasarannya dengan tepat sekali tarik busur, justru, malah anak panah itu menancap sempurna di tengah sasaran. Bahagia? Ya tentu saja. Tetapi ada sedikit kecewa karena, dia tak lagi berkesampatan menarik busurnya lagi oleh sang pelatih, karena masih banyak murid lain yang menunggu giliran.

Ah, sang murid ini lalu mengerti sedikit hal yang dia inginkan. Bukan memanah tepat sasaran yang menjadi kebahagiaannya. Namun, sebanyak-banyaknya ia ingin menarik busurnya dan melempar anak panah sama banyaknya. Baginya, itulah kebahagiaannya. Lalu pada percobaan yang ke-sebanyak-kalinya, dia berhasil memanah tepat sasaran, itulah puncak kebahagiaannya. 

Bukankah sama pada akhirnya? Yaitu memanah dengan tepat sasaran? Lalu mengapa dia ingin mengalami kegagalan sebanyak-banyaknya terlebih dahulu?

Satu hal yang ia sadari, bahwa dirinya lebih mudah memaknai keberhasil tatkala kegagalan sudah sering ia rasakan terlebih dahulu. Memang aneh. Tapi seperti sebuah rasa pahit di lidah. Saat hanya rasa itu yang selalu ia rasakan, mungkin akan terbiasa, mungkin juga semakin menyiksa. Karenanya dia akan sangat merindukan rasa manis. Lalu, setelah ribuan kali rasa pahit, rasa manis itu mengecap di lidahnya, rasanya lebih manis dari rasa manis itu sendiri.

Oh apa benar seperti itu ya? 

Tapi, menunggu itu berat. Mungkin rindu tak menyertainya, karena ia tahu, percuma ada rindu kalau tak pernah tau apakah ada kesempatan untuk bertemu. Rindu itu jadi sia-sia, lalu untuk apa dia ada? Karena itu, aku juga takut mendefinisikan rindu. Belum tentu juga yang kudefinisikan sebagai rindu itu adalah sebuah kerinduan. 
Bisa jadi, rindu hanyalah bahasa untuk mempercantik puisiku saja.
Tanpa terasa aku sudah sampai di halaman rumahku. Aku tahu suasana ini tak terlalu ramai. Ruang tamu yang tak pernah terbuka pintunya. Kali ini, dari depan rumahku sendiri, aku melihatnya terbuka. Sudah pasti ada tamu. Dan tamu itu adalah dirimu. Walaupun aku sudah tahu, aku merasa berdebar. Dan semakin aku mendekat ke pintu yang terbuka itu, aku semakin berdebar. 

Aku mengucapkan salam. Lalu, ruang tamu itu seketika terdiam. Ada apa?

Aku tak melihatmu di ruangan itu. Juga entah siapa malah duduk di tempat seharusnya engkau duduk. Memang ada seikat bunga yang dirangkai rapi di tangan itu, bunga yang cantik berwarna ungu, merah, dan merah muda. Tapi yang memegangnya, bukan dirimu. 

Hancur. Lebur. 

Aku terlalu mengharapkan hari ini yang datang adalah dirimu. Sepanjang perjalanan pulang aku membayangkan itu dirimu. Aku sudah tahu, bahwa hari ini yang akan datang bukanlah dirimu. Tapi aku tak kuasa menerimanya. Barangkali karena itulah aku merasakan sedikit mendung di sudut-sudut hatiku. 

Alasannya ternyata cukup sederhana. Karena aku tahu, bukan engkau yang akan datang menemuiku.

Gambar dari Pinterest
Cerpen ini hanyalah fiksi. Idenya dari mimpi. Tapi banyak yang di modifikasi biar asyik. Ehehe. Kritik dan saran sangat diharapkan.

Pesan cerita ini ada dua. Pertama, tidak mengapa kalau kamu gagal, ya tidak mengapa juga kalau kamu berhasil. Mari cari sisi positif dari keduanya. Pesan keduanya adalah, siap-siap kalau ternyata yang datang adalah orang yang kamu harapkan, dan siap-siap juga kalau ternyata yang datang bukan orang yang diharapkan. 

No comments:

Post a Comment