Saturday, April 11, 2020

Cerita Skripsiku yang Ditinggal KKN ke Lombok

Orang sering bilang kalau aku nggak suka cerita. Suka kok. Serius. Hanya saja kadang aku merasa nggak banyak orang yang mau mendengarkan seseorang bercerita. Maka kalau mereka lagi cerita, aku sebisa mungkin menahan diri supaya nggak menginterupsi cerita mereka dengan menceritakan diriku.

Nah tapi pasti ada juga yang berpendapat kalau aku suka bercerita. Iya, kalau aku sudah suka cerita sama seseorang, artinya orang itu adalah orang yang aku percaya bisa mendengarkan ceritaku. Hehe.

Apalagi yang sampai niat buka laman blogku. Aku percaya, kamu adalah orang yang niat membaca ceritaku. Haha. Set dah. Pokoknya kalau di blog dunia cerita adalah milikku. Semua cerita tentangku. Tempat semua egoku untuk bercerita tertuangkan.

Kalau sudah sampai sini mau lanjut baca ceritaku? Hanya cerita kecil saja sih. Aku harap diriku di masa depan nanti yang membaca cerita ini akan bersyukur sudah melewati itu. Dan aku berterima kasih pada diriku di masa lalu untuk beberapa kali mencoba menghadapi ini dan yah, walau lebih sering menyerah, aku tahu kamu sudah berusaha.

Pada suatu masanya kita akan menghadapi masa yang warnanya sedikit kelam dari masa-masa sebelumnya. Sama seperti hujan, dia datang tidak secara tiba-tiba. Dia datang dengan tanda mendung yang kelabu, bahkan menghitam.

Akupun merasakan tanda-tanda itu. Aku percaya bahwa mendung sekalipun tak pasti berarti hujan, aku masih berharap hujan tak datang, apalagi badai menghantam.

Skripsi. Ya inilah yang ingin aku ceritakan. Aku mengenali tanda-tanda aku akan terlambat. Walaupun awal garis start kita bersamaan. Akulah yang paling lambat pergerakannya. Dimulai dari pengerjaan proposal yang terasa tidak ada kemajuan. Latar belakang yang terasa macet. Alasan penelitian yang buntu. Hingga rasanya ingin ganti judul saja.

Aku merasakan betapa lamanya semua itu. Alasannya aku tidak segera mencarinya dan hanya memikirkannya dalam pikiran tanpa melakukan tindakan. Hal ini semakin parah dengan sifat pemaluku yang melebihi batas kewajaran. Aku merasa sangat sungkan untuk bertemu dosen pembimbing.

Padahal penelitianku bisa dikatakan cukup gampang. Secara metode, tidak terlalu rumit harus ini itu dan itu ini. Akan tetapi, hambatannya adalah murni dari dalam diriku. 

Beruntungnya, teman-teman sepenelitian sering mengajakku konsul bersama dengan dosen 2. Tapi dengan dosen 1, aku benar-benar sendiri dan bagiku, aku tak pernah merasa siap untuk bertemu dengan beliau. Maka progres dengan dosen 1 menjadi sangat-sangat lambat hingga membuatku terlambat.

Akupun merasakan dosen 2 sangat baik kepadaku. Terus memotivasi agar aku bertemu dengan dosen 1. Jawabanku hanya ya ya ya ya yang tidak pernah terwujud dalam tindakan. Hanya ketika aku benar-benar siaplah aku bertemu dengan dosen 1 (dan proses ini sangat lama hingga berbulan-bulan kemudian).

"Ketika targetmu terlalu tinggi, yang perlu kamu lakukan bukanlah menurunkan targetnya, tapi NAIKKAN USAHAMU."

Waktu itu sekitar 2018 akhir. Allah menggerakkan jari-jari temanku mengirimkan sebuah motivasi. Pada musim itu sudah banyak sekali yang seminar proposal, hingga aku merasa benar-benar pasrah tanpa mengusahakan apapun, aku sudah menyerah. Aku telat. Silahkan jalan duluam teman-temanku. Tetapi, dengan kata-kata itu, aku merasa sedikit tergugah.

Segera setelah membaca kata-kata itu, aku segera mengetikkan chat WA kepada dosen 1. Chat yang sebelumnya tidak terbalas kuanggap tak ada. Daaan. Its work. Dosenku membalas. Perasaanku saat itu begitu senang. Aku bertemu, aku revisi.

Hal penting yang menjadi catatanku saat itu adalah, jika kamu sudah stuck, mentok, buntu, itulah maksud dari adanya dosen pembimbing. Itulah saat yang tepat untuk bertemu dengannya. Jangan malah lari dan tidak berkabar sama sekali. :) Well noted.

Progresku masih lambat, tetapi sedikit demi sedikit aku mengusir rasa pemaluku yang kelewat batas. Yang perlu menjadi catatan penting lagi untukku adalah, semakin aku malu berproses, semakin lama aku selesai, maka semakin sungkan dengan dosen, dan hal-hal yang justru akan membuat progres semakin lambat.

Yah aku nggak selalu berhasil untuk melawan diriku dengan catatan-catatan penting yang aku ingat. Tapi itu cukup membantuku menghadapi sifat pemaluku. Sisanya kuserahkan pada diriku untuk menghadapi sifat malasku. Satu masalah terselesaikan.

Sekitar akhir Desember 2018, proposalku di acc untuk ujian. Perasaanku saat itu sepertu batu. Kerasa sekali. Ada kebahagian biasa saja, ada kesedihan biasa saja. Namun Allah memecahkan batu itu. Saat di acc ujian aku merasa biasa saja. Biasa saja yang membuat hatiku merasa sangat teriris. Maka aku katakan pada diriku, 
"Kamu boelh seneng, Dik. Hal-hal yang bagi semua orang biasa, jika kamu menyukainya, kamu boleh senang. Kamu boleh menangis. Kamu boleh bersyukur."
Mungkin ada yang tidak memahami. Terkadang aku menjadi orang yang sok kuat. Sok merasa biasa saja terhadap sesuatu. Sok-sokan lah pokoknya. Gengsi. Tapi aku sadari, mengekspresikan apa yang kita rasakan itu ternyata begitu melegakan.

Hingga pada 15 Januari 2019 akhirnya aku bisa seminar proposal. Cukup terlambat jika dibandingkan dengan teman-teman seangkatan pada umumnya. Tapi aku menghargai progresku. Ini diriku. Ya inilah aku yang lambat. Aku mungkin terlalu mencintai diriku, tapi tidak mengapa. Aku belum bisa keras kepada diriku sendiri.

Permasalahan muncul kembali justru saat kita selesai mengambil data bulan Maret 2019. Masalah yang sama dengan sebelumnya. MALAS.

Aku mengakuinya. Aku tak pernah memandangnya sebagai masalah yang serius. Tapi sialnya, justru itulah masalah yang serius. Dalam masa pengerjaan hasil dan pembahasan, aku kembali berprogres sangat lambat (tentu jika dibandingkan dengan teman-temanku). Dan penyebabnya bukanlah sifat pemaluku, tapi rasa MALASku.

Aku masih ingat saat sahabatku sering sekali mengajakku mengerjakan. Sering sekali mengingatkanku. Aku jadi menyadari bahwa aku tidak terlalu berusaha. Saat di kampus dia mengajakku mengerjakan, ya aku mengerjakan dengan terpaksa. Sial, sering buntu, sering bingung. Ketika kebingungan itu datang, aku justru kabur dan meninggalkannya.

Ketika malampun aku sering diingatkan untuk mengerjakan, sayangnya aku lebih memilih untuk langsung tidur atau mengerjakan hal lain. Dari sini aku benar-benar merasakan awan mendung itu sudah bukan lagi kelabu, mendung itu sudah benar-benar semakin menghitam. Akan tetapi, aku masih berprasangka baik bahwa hujan takkan turun. Dan betapa bodohnya aku saat itu berprasangka baik tanpa mengusahakan agar prasangka baik itu benar terjadi. 

Mendung semakin jelas akan menurunkan hujan. Waktuku ternyata sudah tak banyak lagi. Keputusanku untuk KKN di luar Jawa adalah sebuah keputusan yang menurutku sebuah pertaruhan pada awalnya. Kelulusan tepat waktu adalah taruhannya. Aku sudah tahu konsekuensi itu. 

Keputusan itu tidak pernah aku sesali. Aku cukup siap untuk terlambat, sayangnya aku tidak cukup siap untuk tepat waktu. Maka akupun menjadi sedikit berusaha, semakin sedikit, dan sudah pada waktunya aku sangat sering menyerah daripada kembali bangkit. 

Ditengah keputusasaanku itu, sebenarnya temanku sangat selalu bersamaku. Kita saling menasehati. Memaksimalkan waktu yang ada. Biar Allah yang menentukan hasilnya. Kesalahanku adalah, aku tidak memaksimalkan usahaku, aku tidak mempermasalahkan jika aku terlambat tapi aku sudah berusaha. Namun sayangnya, aku tidak cukup usaha.

Akhirnya mendung itu benar-benar turun menjadi hujan. Aku sudah pasti akan terlambat untuk lulus. 

Catatan penting lagi untukku adalah, jika kamu masih ada waktu untuk berusaha maka usahakanlah semaksimalmu. Baru jika sudah benar-benar terlambat dan tidak ada lagi yang bisa kamu usahakan, kamu bisa bilang "pasrah dengan hasil yang Allah takdirkan." Jangan malah pasrah diawal, akibatnya malah jadi malas-malasan dan usahanyapun jadi tidak maksimal.

Masa KKN adalah masa aku benar-benar melupakan skripsiku. Aku benar-benar menutupnya. Di sisi lain, teman-teman yang lain sedang mengusahakan seminar hasil di tengah-tengah KKN (mereka yang KKN di area DIY dan sekitarnya masih memungkinkan untuk mengejar seminar hasil). Aku menutupnya rapat-rapat. Melupakannya, berharap KKN aja selamanya. Ekwk. Menolak kembali ke realita.

Pertengahan Agustus 2019, jika lulus tepat waktu, tiga empat hari kemudian akan diwisuda. Berhubung aku tidak tepart waktu, harusnya cus mengerjakan skripsi. 

Ada cerita lain saat wisuda Agustus itu. Teman baikku, sohibku, dia wisuda tepat waktu. Untuk sekedar datang saja ke tempat itu rasanya seperti mau datang ke medan perang. Bayangkan, 70an lebih teman-teman seangkatanku diwisuda hari itu. Aku datang kesana, rasnaya seperti mempertaruhkan diriku. Akan tetapi, akhirnya aku menerjangnya juga. Bodo amat dengan mereka yang wisuda hari itu. 

Tapi sebenernya, dunia tak sekejam yang aku bayangkan. Hatiku memang sakit saat melihat mereka sudah diwisuda, aku belum. Saat itu aku coba untuk sok kuat. Jika tidak sengaja dengan teman yang kukenal, aku bilang selamat ya, lalu berlalu begitu saja. Sambil menertawakan diriku. Haha bodo amat. Salahku sendiri juga. Akupun tak tahu dibalik perjuangan mereka ada apa saja.

Banyak alasan, nyantai dulu. Sampai September 2019 aku baru mulai mengerjakan dan mulai konsul lagi. Dengan progres yang masih sama, lambat sekali.

Aku paham sekali masalahku. MALAS. Malas sekali. Apalagi saat mengerjakan pembahasan begitu susah untuk mencari sumbernya. Susah untuk mencari apa yang menarik dari dataku ini? Semakin lama semakin sulit.

Permasalahan sifat pemaluku ke dosen memang sudah teratasi. Akan tetapi muncul rasa insecure ketika datang ke kampus. Takut ketemu temen-temen yang sudah masuk stase profesi. Takut ketemu adek kelas yang dikenal. Takut yang ujung-ujungnya membuat aku beralasan dan menjadi jarang konsul lagi. Hauffft..

Di kos mau mengerjakan, malah bersih-bersih, tidur makan, cari mood nggak dapet dapet. Baca webtoon, nonton anime. Ketidakproduktifan yang membuatku geregetan dengan diriku sendiri.

Dan aku mengambil catatan penting kembali bahwa, aku termasuk orang yang lebih baik mengerjakan di perpustakaan. Semalas-malasnya dateng ke perpus, pasti dapet tambahan di skripsiku. Walaupun hanya satu dua baris kata. Walaupun hanya sekedar ide-ide kecil. Walaupun hanya download-download jurnal. Itu selalu lebih baik daripada aku hanya ada di kos-kosan. Maka yang menjadi fokusku saat itu adalah, memaksa diriku untuk datang ke perpustakaan.

Pada masa-masa pengerjaan itu aku tak sendiri. Sohib kosku juga sering mengajakku ke perpus. Dia seperti menggantikan sohib prodiku. Akan tetapi sama, dia sidang duluan dan wisuda bulan November. 

Tadinya aku cukup optimis untuk bisa wisuda bersama dengannya. Tapi apalah daya, setelah di acc untuk sidang, itu sudah melewati batas yudisium. Akupun tak terlalu mempermasalahkan. Lagi pula aku tidak cukup yakin bisa revisi dengan jangka waktu yang begitu singkat.

Tanggal 5 November 2019, akhirnya aku sidang. Tidak terlalu deg-degan. Aku cukup siap. Aku cukup paham walau sedikit sulit menjelaskan penelitianku. Penelitian dengan tema spiritualitas bagiku cukup abstrak. Hal yang tak terlihat, bahkan konsepnya dalam otakku masih sering campur aduk.

Di depan penguji yang kesemuanya laki-laki, aku mempresentasikan hasil penelitianku. Yang kalau aku boleh jujur sebenarnya, apa banget ya. Setidaknya walaupun penelitianku ini tidak terlalu bermanfaat secara besar, aku justru yang belajar banyak darinya. Dia sudah bermanfaat untukku. Yang juga menyemangatiku untuk menyelesaikan. Variabel spiritualitas sangat berkaitan dengan keyakinan akan Tuhan. Pastinya ini membuatku semakin merasa bahwa itu bukan soal kebetulan saja.

Sidangku bisa dibilang sangat cepat. Hanya kisaran satu jam. Wkwk. Aku sudah bilang dari awalkan? Kesemua dosen-dosenku terbilang sangat baik, dan tidak begitu banyak maunya. Pertanyaan-pertanyaan dari beliaupun hanya seperti saran, dan seperti mengulang apa yang sudah kusampaikan.

Its done. Aku senyum. Aku begitu senang. Akhirnya kesemuanya selesai. Walaupun masih ada revisi, itu bukan revisi yang parah. Aku melihat lagi betapa prosesku begitu lambat. Namun akhirnya selesai. Aku melawan diriku, walau lebih sering kalah, aku pernah melawannya. Dan rasanga begitu bahagia ketika sekali saja aku berhasil melewatinya.

Ada bagian menarik yang aku pikirkan kembali dari prosesku itu. Satu hal yang cukup unik. Yaitu kecintaanku pada buku. Memang aku bukan pecinta buku sampai sudah membaca puluhan atau ratusan buku. Aku hanya cinta. Jika ada yang menarik maka aku beli. Tapi jarang yang benar-benar akhirnya aku baca.

Dari progres pengerjaan skripsiku itu aku sudah bilang bahwa aku sering kabur, salah satunya adalah kabur ke buku. Aku mulai melirik buku-buku yang sudah aku beli. Kasian sekali mereka, belum terbaca dan hampir menjadi sosok yang sia-sia. Aku mulai membaca dan mencintai aktivitas membaca. 

Hobiku membacaku mulai tumbuh. Hal ini terjadi sekitar bulan Oktober/November 2019. Aku mencoba menjadikan beranda IG ku setiap saat selalu ada buku. Semakin sering aku melihat postingan-postingan buku, semakin membuatku semangat untuk menyelesaikan buku yang aku baca. Tak banyak memang, tapi buku itu sangat membantuku.

Mulai dari buku-buku yang aku sukai. Genre yang membahas cinta adalah favoritku. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku tentang cinta, rindu, melupakan, dan banyak lagi. Aku mulai belajar, dan seolah setiap kali aku seperti dituntun Allah untuk menuju suatu hal yang lebih baik, hal yang lebih abadi. 

Saat aku memposting review buku pertamaku di IG, penulis buku tersebut merepost ke storynya. Pak Anis Matta. Entah akun tersebut dikelola oleh beliau atau tidak, akan tetapi itu menjadi awal yang cukup bagus agar aku terus membaca buku. Postingan itu cukup ramai hingga followerku bertambah. Aku selalu memfollow kembali mereja jika sekiranya isi postingan mereka bermanfaat. Dan mulailah bertambah satu persatu teman maya yang mencintai buku.

Teman maya yang ternyata adalah adik kelasku sendiri juga ada. Seorang penggemar Mojok. Hehe. Berdiskusi tentang buku dengannya selalu menarik. 

Yah kalau soal buku, rasanya seperti jatuh cinta. Nggak bisa habis kalau mau dibahas lagi. Tapi aku mau kembali ke cerita skripsiku yang telah selesai. Hingga akhirnya aku wisuda bulan Februari 2020.

Penting sekali ini kuceritakan. Hehe. Inilah penutupnya. Aku wisuda saat aku sudah masuk stase profesi di rumah sakit. Sedikit ribet mengurus ini itu sementara sedang praktik di RS. But inilah the last dari seluruh pengerjaan skripsiku. W I S U D A.

Akan aku ceritakan hal-hal membahagiakannya saja, walaupun sedihnya banyak juga sih, tapi beberapa aja deh wkwk.

Hal yang membahagiankan adalah tanggal wisudanya begitu berdekatan dengan hari ulang tahunku. Alamak sudah 23 tahun saia. Sudah tua apa masih muda? Hehe tergantung siapa yang bilang sih. 18 Februari gladi bersih adalah hari ulang tahunku. Tak banyak yang mengetahuinya memang. Dan 19 Februari aku diwisuda. Yey! 23 tahun 1 hari akhirnya menjadi sarjana. 

Sedihnya adalah aku tak bisa mempersembahkan apa-apa selain ijazah kepada orang tuaku. Tak ada selempang cumlaude. Tak ada kejuaraan atau prestasi lain selain menjadi mahasiswa.

Lalu, aku sebenarnya juga sangat ingin mengupload foto wisudaku. Tapi aku cukup tahu sebelumnya, perasaanku ketika melihat teman-teman mengupload foto wisuda dengan keadaan aku masih mengerjakan skripsi. Sakit, tapi tak usah terlalu dilebihkan. Hanya saja ada lintasan-lintasan iri yang menjangkiti otakku.

Aku menahannya. Hanya orang-orang yang bertanya padaku yang tahu aku telah diwisuda. Kuharap tidak terlalu menyakiti mereka yang belum lulus. Yakinlah akan ada waktunya. Waktu yang tepat. Perjuanganmu harus selalu kamu hargai, dan bandingkan dengan dirimu sendiri saja, jangan dengan mereka yang jauh diatasmu. Kepalamu akan sakit jika mendongak ke atas terlalu lama.

Akhirnya, perjuangan memang belum selesai. Dan akan terus berlanjut. Aku mengucapkan terima kasih untuk kalian yang mau membaca tulisan ini sampai akhir. Kuharap ada sesuatu yang bisa kalian ambil hikmahnya. Aku menulis ini adalah untuk mengingatkan diriku di masa depan, bahwa aku pernah berjuang, walau tidak sekeren perjuangan teman-teman yang lain, tapi ini adalah bentuk dirikh menghargainya. Jika aku tak berjuang sedikitpun, bagaimana jadinya? 

Kuharap diriku di masa depan selalu semangat apapun yang terjadi. Selalu ingat, Allah selalu mengiringi setiap kejadian pasti dengan sebuah maksud, agar kamu menyadari keberadaan-Nya. Teruslah mencari Allah dalam setiap kejadian hidupmu. Kenali gejala-gejala Dia hadir, dan mendekatlah terus kepadaNya.

Hujan yang hadir itu bagi setiap orang mungkin berbeda-beda merasakannya. Ada yang mencintainya, ada yang membencinya. Sejauh ini aku pernah merasakan keduanya pada hujan itu. Hujan yang cukup lama. Namun jika hujan itu tak datang, aku takkan belajar banyak hal. Aku tak bisa merasa dinginnya air hujan jika ia tak datang. Tak bisa merasa nikmatnya tertimpa rintik yang menyejukkan jiwa. Tak bisa bertemu dan mencintai membaca buku. Aku tak menyesali. Aku berterima kasih. Pada akhirnya hujan mereda. Walau hanya untuk terang beberapa saat, yakinlah bahwa hujan takkan terjadi selamanya.

Ia akan berhenti. Tentu saja, terserah pada yang mencipta. Kita tak tahu kapan waktunya akan berhenti, kita hanya bisa bernaung di bawah payung atau memutuskan menerabasnya dengan basah kuyup. Tapi ia akan selesai. Matahari akan kembali menjadikan dirimu terlihat di atas bumi ini. Selamat berjuang kembali, untuk hujan-hujan yang akan datang di masa depan. ^^

No comments:

Post a Comment