Sunday, July 19, 2020

Menghidupi Makna dari "Urip Iku Urup"

Nyala itu terang. Dia berpendar ke segala arah. Sejauh gelap yang mampu ia gapai, disitulah nyala mengerjapkan cahaya. Menampakkan apa-apa yang tersembunyi kala gelap. Itulah nyala.

Urip iku urup. Hidup itu nyala. Aku tak begitu memaknainya, kala kata itu aku dengar pada awalnya. Itu kata yang tak asing di telingaku sebagai orang Jawa. Bahwa hidup itu akan bermakna ketika kita bisa bermanfaat untuk sekitar kita.

Benar. Jika ditanya apa momen yang membuatmu bahagia? Salah satunya adalah ketika diri bisa membantu, melakukan sesuatu, bermanfaat untuk orang lain. Orang yang membantu biasanya merasa lebih senang daripada yang dibantu. 

Namun, kali ini entah mengapa datang sebuah sudut pandang lain mengenai kebermanfaatan itu. Yaitu adalah tentang kebermanfaatan yang berulang. Kebaikan yang menular

Urup dalam makna "urip iku urup" mungkin tak hanya berhenti pada kebermanfaatan seseorang pada orang yang terkena kebaikannya. Misalnya, Si A memberi masukan-masukan baik pada sekelompok orang. Diantara sekelompok orang ini ada yang takjub dengan kebaikan Si A, sebut saja Si B, sehingga Si B begitu ingin berbagi ke orang lain agar merasakan seperti yang telah A lakukan padanya pada Si B.

Kemudian Si B berbagi ke Si C, dan Si C juga ikut terinspirasi untuk melakukan kebaikan. 
Rantai-rantai kebaikan itu mungkin lebih panjang dari yang pernah manusia pikirkan. Nyala kebaikan itu bisa jadi tak pernah padam karena terus merambat dan meluas ke banyak arah.
Namun, adakalanya juga dia padam. Karena kebaikan itu tidak diteruskan. Kebaikan itu berhenti. Maka mungkin, yang bisa mulai dilakukan adalah, setiap kali kita menerima kebaikan, lanjutkanlah kebaikan itu kepada orang lain. Apapun bentuknya. Hehe. Aku rasa aku masih sulit melakukannya.

Tetapi, membayangkannya saja rasanya begitu indah. Dunia akan dipenuhi dengan kebaikan-kebaikan yang terus menyala. Dunia akan terang oleh kebaikan-kebaikan tersebut.

Berkata yang baik juga adalah kebaikan. 

Aku menyadari, kadang alasanku untuk melakukan sesuatu, terkadang adalah karena orang lain. Mungkin tak ada salahnya, niat karena Allah itu bisa jadi diperbaiki sambil melakukan. Perlahan-lahan dibenahi. Tetapi saat ini kurasa, orang lain itu adalah "urup" yang diberikan kepadaku.
Dia adalah urup, dia adalah nyala. Dia memberikan nyala itu kepadaku. Memberikan kebaikannya padaku. Dan aku, terkesima padanya, sehingga ingin ikut menyalakan kebaikan kepada orang lain. Saat nyala itu berhasil kuhidupkan, dan menjalar kepada orang lain, aku merasakan kebahagiaan, aku merasa hidup, dan ingin terus menyalakannya.
Maka teruntuk orang-orang yang telah memberikan nyalanya padaku, aku sungguh berterima kasih pada kalian. Karena nyala itulah aku merasa hidup, dan karenanya pula aku merasakan keberartian, karena itulah aku merasa "urip iku urup".

Dan karena itu, aku mengerti, mengapa terkadang aku merasa hidup tak berguna, kebosanan melanda, hilang arah, dan tak tahu harus melakukan apa. Ya, itu karena aku sudah lama tak menerima nyala dan tak memberikan nyala. Karenanya rasanya seperti mati, rasanya "padam".
Untuk itu, aku sekarang mengerti, apa yang harus kulakukan ketika rasa "padam" itu datang. Jika aku bisa, aku akan menyalakannya lagi. Jika tak kuasa, maka aku hendak mencari, hendak meminta, sebuah nyala pada sosok-sosok yang sedang menebarkannya.
Teruslah hidup, dan teruslah menyala. Sekecil apapun cahayamu, teruslah hidup dan teruslah menyala. Jangan meremehkan nyala sekecil apapun, karena bahkan, hanya dari gesekan dua batang kayu, bisa menyalakan api berhektar-hektar pada tempat yang kering. Kita tak pernah tahu, barangkali dari sebuah nyala yang kecil, akan timbul nyala yang begitu besar.

Karena itu, teruslah menyala, dan jalarkan nyalamu kepada lilin-lilin lain disebelahmu. 

No comments:

Post a Comment