Sunday, March 26, 2023

Menyapa Teman Lama

Dulu, aku sering menulis di sebuah buku. Buku harian yang dimiliki remaja pada umumnya. Rasanya menyenangkan, bisa menceritakan segala rahasia di sana.Walau pada akhirnya, karena aku takut akan ada yang membacanya, aku menyamarkan beberapa hal yang tertulis. 

Saat kelas satu SMP, aku diajari sandi rumput oleh kakak pembina Pramuka. Kode yang menyenangkan. Semua murid bisa mempelajarinya. Jadi, apakah itu masih menjadi sebuah sandi? Jika ternyata semua orang bisa mengetahuinya? Aku berlatih menulis sandi rumput dengan menuliskannya di buku haianku. Aku yang dulu menulis itu pasti paham maksudnya, tetapi akuyang sekarang, telah terlalu malas untuk kembali mempelajarinya, hanya untuk mengerti curahan kecil yang saat itu kurasakan.

Entah sejak kapan, rasanya aku semakin jarang menulis di buku harian. Mungkin sejak aku kuliah. Terkadang aku menuliskannya. Saat-saat itu adalah saat aku merasakan jarak yang semakin menjauh dengan ceritaku saat sekolah. Meski lebih jarang menulis di buku harian, aku sepertinya masih suka menulis di catatan HP. Sekedar sebuah puisi antah berantah, atau sebuah caption untuk unggahan di Instagram yang tidak jadi kuunggah karena kata-katanya terlalu melankolis.

Terkadang, kata-kata yang terlalu melankolis itu aku unggah di blog ini. Karena pemirsanya tidak seberapa. Tapi aku merasa mendapatkan kesenangan tersediri, karena masih ada yang membacanya. Benar saja, teman kuliahku dulu mengatakannya padaku, tulisan-tulisan di blog ini terasa melankolis. Waktu itu aku senang-senang saja, malah rasanya seperti pujian. Karena aku ini memang melankolis, pikirku waktu itu.

Manusia mudah berubah. Seringkali, aku membaca ulang tulisan-tulisanku. Entah itu di media sosial, di blog, di catatan HP, ataupun di buku. Pada waktu tertentu, tulisan itu jadi terlihat menggelikan di mataku, dan membuatku tersenyum sendiri mengingat rasanya. Makanya, beberapa tulisan sengaja aku sembunyikan. Alasannya sederhana. Sudah cukup memalukan untuk aku membacanya. Tetapi aku tidak menghapusnya. Biar dikenang untuk diri sendiri.

Semenjak bekerja, aku semakin jarang menulis. Dulu paling tidak ada satu puisi antah berantah yang menggambarkan perasaanku. Terutama saat ada kejadian yang berkesan, atau justru menyebalkan. Kini seluruh kejadian tidak ada yang terekam dalam tulisan. Semuanya berlalu, seiring waktu berlalu. Air mata lebih mudah kering. Rasa sakit lekas berganti. Rasa marah hanya sesaat. Rasa suka, juga hanya jadi serpihan sesaat.

Tidak ada refleksi. Tidak ada melihat kembali. Tidak ada makna. Terkadang, rasanya cukup hampa. Kemudian terlupa oleh kesibukan yang tidak seberapa. Mungkin rasanya seperti kehilangan teman bicara, yang selalu ada saat kita bercerita. Yang tidak menyalahkan dan tidak menyarankan apa-apa. Tetapi aku juga tak sempat menyapanya. Dan terus memberi jarak padanya dengan alasan kesibukan. Padahal ada banyak hal yang ingin kuceritakan padanya. Ada banyak yang terjadi,ada serpihan jawaban yang ingin kusampaikan. 

Kini aku sedang berusaha menyapanya kembali. Lewat ini. Alasannya masih sama. Tidak banyak yang membacanya, tapi masih mungkin akan ada yang membacanya. Dan ada jejaknya. Yang suatu saat bisa aku baca kembali. Ini hanya cerita sederhana. Terima kasih telah membacanya, ya. Kuharap, aku juga bisa mendengar ceritamu tentang perjalananmu menjadi dewasa.

No comments:

Post a Comment